Selasa, 31 Maret 2015

Sekilas Tentang Bahasa Indonesia



Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Materi Bahasa Indonesia


Kembali Menemukan Kekeliruan

Berikut ini adalah dialog yang terjadi ketika di depan rumah hendak mengantarkan putri kecilku ke Care Day

Andy     : "Ih,,, siapa tadi ya ?"
Deny     : "Nah,,, bukannya lo tadi liat ?"
Andy     : "Mata lo di mana ?"
Deny     : "Mata pencarian Bapak lo !"
Saya      : "Astaga, kalian bicara apa ?
Andy     : "Dahu,,,nganja diwabja. yemdiin jasa. taren taki dimelomin yadi !"
Deny     : "Yai,,,taki giper jasa yu!"

Pembicaraan yang membuat siapa pun tersontak kaget. Apa kah sebenarnya yang sedang mereka bicarakan?
Mungkinkah pembicaran mereka mengandung kerahasiaan ?
atau pembicaraan mereka merupakan penghinaan ?
Mungkin untuk yang tidak memahami isi pembicaraan mereka akan berpikiran macam-macam.
Terkadang, ada untungnya juga masa kecil saya dihabiskan di pemukiman rakyat biasa yang kalau hendak pulang ke rumah selalu melewati gang-gang kecil. Ya,,,  dahulu rumah orang tua saya ada di sebuah gang kecil. Di mana kehidupan di sana sangatlah jauh dari kesempurnaan. Mulai dari komunikasi, kegiatan, hingga tindakan tidak jauh berbeda dengan orang-orang di pasar.
Beruntung saya bisa memahami pembicaraan kedua anak tadi. Kalau boleh saya terjemahkan, berikut ini terjemahannya.

Andy     : "Ih,,, siapa tadi ya ?"
Deny     : "Nah,,, bukannya lo tadi liat ?"
Andy     : "Mata lo di mana ?"
Deny     : "Mata pencarian Bapak lo !"
Saya      : "Astaga, kalian bicara apa ?
Andy     : "Dahu,,,nganja diwabja. yemdiin jasa. taren taki dimelomin yadi !"
                (Udah,,,, jangan dijawab. Diemin saja. entar kita diomelin dia ?"
Deny     : "Yai,,,taki giper jasa yu!"
                (Iya,,, kita pergi saja yu !"


Dialog singkat, tetapi mengandung bahasa yang tidak baik.
1. Mereka tidak menghargai orang tua yang meminta penjelasan pada mereka tentang apa yang sedang  
    mereka bicaraka.
2. Mereka tidak menghargai seorang guru.
3. Mereka tidak tahu bahwa saya memahami bahasa mereka.
4. Mereka pun tidak tahu bahwa bahasa yang mereka gunakan bisa merusak bahasa Indonesia.

Hmmmm,,,,,Kembali menemukan kekeliruan dalam bahasa.
terkadang hati ini bertanya,,, siapa kah yang menimbulkan kekeliruan itu ?
Marilah, kita bersama-sama menjaga komunikasi yang baik antar sesama manusia dan jangan sampai kekeliruan itu kembali terulang.

#GerakanMencintaBahasadanSastraIndonesia